There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Thu Dec 8, 2022
Hai Optimized People đź‘‹
Di dalam konteks personal development ada 2 sikap yang awalnya terasa mirip, tapi dampaknya terasa sangat berbeda. Kedua sikap ini adalah “self-pity” vs “self-compassion”.
Kedua sikap ini muncul sebagai respon natural kita terhadap stressful event.
Dalam sudut pandang mental health, kedua sikap ini jauh lebih sehat daripada sikap menolak kenyataan atau denial.
Sikap denial mungkin akan membuat kita tampak kuat sementara. Tapi dalam jangka panjang, emosi kita akan mulai mati rasa. Dan dampak terparah adalah pada efektivitas kepemimpinan kita. Para pemimpin yang “emosinya mati” ini akan kesulitan berempati dengan orang lain.
Kalau pun mereka memberikan apresiasi, timnya akan merasa pemimpin itu melakukannya dalam usaha untuk menggerakkan kita ke arah yang dia mau. Jadi pemimpin itu akan beresiko dipersepsi terlalu manipulatif.
Self-pity & self-compassion justru sebaliknya.
Para pemimpin yang menggunakan kedua sikap ini justru bisa mengekspresikan empati yang baik. Mereka akan dipersepsi oleh timnya, benar-benar mampu memahami kesulitan yang sedang mereka alami. Ini justru akan membuat tim mau lebih terbuka dan engaged dengan kepeÂmimpinan kita.
Tapi dampak dari self-pity & self-compassion akan sangat berbeda.
Mengasihani Diri Sendiri (Self-pity)
Mindset di balik sikap self-pity ini mirip dengan “sikap mental korban”.
Ketika menghadapi kesulitan, mereka akan cenderung memposisikan dirinya sebagai korban yang perlu dikasihani dan ditolong oleh pihak eksternal. Mereka merasa sudah melakukan segala hal yang bisa mereka lakukan dan kegagalan ini terjadi, 100% karena ketidakadilan atau peran pihak eksternal.
Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa kegagalan ini adalah 100% faktor nasib.
Penelitian yang dilakukan oleh profesor psikologi bernama Joachim Stöber juga mengatakan bahwa self-pity erat kaitannya dengan depresi, perasaan tidak mampu berubah, kemarahan yang dipendam, dan emotional loneliness.
Bisa bayangkan dampak negatif self-pity dalam personal development kita sebagai seorang profesional, pemimpin, dan entrepreneur?
Tapi solusinya bukan mengambil sikap denial. Kita perlu melatih otak kita mengakui bahwa kita memang sedang mengalami situasi yang terasa berat bagi kita. Mungkin hal ini terasa ringan bagi orang lain. Tapi saat ini, situasi ini terasa berat bagi kita.
Solusinya adalah menggunakan sikap self-compassion.
Mengasihi Diri Sendiri (Self-compassion)
Mindset di balik sikap self-compassion ini adalah “mengakui, tapi tidak menyerah”.
Self-compassion berarti mengakui bahwa kita sedang mengalami hari yang berat. Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Self-compassion berarti mengakui bahwa kita sedang mengalami situasi yang bisa membuat kita putus asa. Tapi ini bukan kiamat.
Saya yakin Optimized People mulai bisa menangkap kunci perbedaannya.
Orang-orang yang menggunakan sikap self-compassion tidak kehilangan harapan walaupun dalam keadaan tertekan. Mereka mengakui kesalahan mereka. Mereka mengakui emosi negatif yang sedang menghantam hati mereka saat ini. Tapi mereka tidak kehilangan harapan!
Di akhir hari yang berat itu, di atas tempat tidur, mereka bisa menutup hari dengan berdoa. Mencurahkan segala kekuatiran dan bahkan ketakutan mereka kepada Tuhan. Lalu kembali bangkit di esok harinya.
Mereka percaya bahwa Tuhan sudah menanamkan potensi yang lebih besar di dalam diri mereka. Mereka percaya ketika mereka bisa memberanikan diri melalui semuanya ini, maka benih potensi yang Tuhan sudah tanamkan itu justru akan bertumbuh dan berbuah lebat.
Mereka percaya pasti ada jalan keluar. Dan di akhir masa-masa tidak menyenangkan ini, kita akan menjadi orang yang lebih baik. Lebih mampu membanggakan Tuhan dengan potensi-potensi yang sudah kita kembangkan.
Semoga bermanfaat. 🙂
Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.