There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Mon Jan 16, 2023
Hai Optimized People
Kalau kita mau jujur, ditolak itu menyakitkan. Ya kan?
Saya tahu para sales trainer dan para senior sales yang sukses akan bilang, ditolak itu biasa. Dan di satu sisi, sebagai seorang entrepreneur, saya juga akan bilang bahwa ditolak itu adalah bagian dari kehidupan.
Saya bahkan akan bilang bahwa dalam bidang apapun, orang yang benar-benar ingin sukses, wajib melatih mentalnya untuk terbiasa ditolak.
Tapi weekdays insight hari ini bukan tentang kita sebagai sales yang ditolak. Tapi justru tentang para prospects yang menolak kita. Bagaimana seandainya kita bisa memanfaatkan dorongan untuk menolak di otak para prospects ini, justru untuk kesuksesan kita sebagai seorang sales?
Creating “Safe Space” For Your Prospect
Ini konsep yang mungkin jarang diketahui. Ditolak itu memang terasa menyakitkan karena bertentangan dengan cara kerja otak kita. Tapi merasa mampu untuk menolak, itu justru terasa menyenangkan bagi otak.
Kok bisa begitu? Karena ketika menolak, itu berarti kita mampu memasang batas aman.
Ini alasan kenapa kita memasang pagar dan pintu rumah. Kita ingin menolak orang-orang yang tidak kita inginkan.
Kebutuhan untuk memasang batas pengaman ini yang membuat kita tidak suka berinteraksi dengan orang yang terlalu memaksa. Karena orang yang terlalu memaksa, cenderung kita persepsi akan membawa kerugian.
Ini poin yang kita mau manfaatkan. Kalau kita bisa memposisikan diri sebagai orang yang bukan hanya tidak terasa memaksa, tapi juga kemungkinan bisa membawa manfaat, maka para prospects itu akan jadi lebih terbuka kepada kita.
Itu 2 hal yang kita perlukan untuk menciptakan “safe space”:
Coba bayangkan contoh situasi ini.
Ada sebuah pameran mobil di sebuah mall. Seperti biasa tugas para sales lapangan adalah mempersuasi pengunjung mall untuk melihat atau bahkan membeli mobil-mobil itu.
Sekarang bayangkan 2 strategi komunikasi ini.
Strategi pertama tidak menciptakan “safe space”. Sang sales mendekati seorang pengunjung, sambil tersenyum, menyodorkan brosur, dan bilang: “Dilihat dulu ko. Ada diskon loh.”
Sekarang bandingkan dengan strategi kedua yang berusaha menciptakan “safe space”. Sang sales mendekati seorang pengunjung, sambil tersenyum, menunjukkan bahasa tubuh yang terbuka dan ramah, dan bilang: “Selamat malam pak. Saya Eri Silvanus dari mobil abc. Kebetulan saya sedang melakukan survei tentang kebutuhan pasar otomotif. Apakah boleh kalau bapak meluangkan waktu 2 menit untuk menjawab beberapa pertanyaan saya?”
Setelah itu sang sales akan melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan penggalian seperti:
Strategi yang kedua berusaha menciptakan “safe space” dengan tidak terkesan memaksa. Alih-alih menyodorkan sesuatu, dia bertanya “Apakah pak prospek bersedia memberikan waktu 2 menit ke saya?”
Strategi pertama tidak memberikan “safe space” karena langsung menyodorkan sesuatu. Seolah memaksa sang prospek melakukan sesuatu tanpa minta persetujuan.
Strategi kedua juga berusaha menciptakan kesan bahwa dia mungkin bisa memberikan manfaat. Kok bisa begitu? Begini penjelasannya.
Kalau pengunjung itu sama sekali tidak ada keinginan untuk membeli mobil, maka survei itu sama sekali tidak bermanfaat baginya. Maka kemungkinan besar dia juga akan menolak memberikan 2 menitnya.
Tapi kalau ada sedikit saja kebutuhan untuk membeli mobil, maka survei itu mungkin bisa memberikan manfaat. Kenapa? Karena dia berharap survei itu bisa membuatnya menerima paket layanan atau produk yang lebih sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya.
Bisa kita bayangkan, strategi komunikasi yang memberikan “safe space” ini punya peluang lebih besar:
Situasi salesmanship yang optimized people sedang hadapi mungkin berbeda dengan contoh tadi. Tapi poin utama yang ingin saya sampaikan sama.
Ciptakan “safe space” bagi sang prospek dengan menunjukkan bahwa kita menghormati haknya untuk menolak atau untuk menjaga jarak jika mereka merasa belum bisa mempercayai kita atau untuk suatu alasan belum tidak ingin berinteraksi dengan kita.
Bentuk dari menciptakan “safe space” ini bisa berbeda-beda. Tapi mindset dan kebiasaan menciptakan “safe space” ini akan berguna, bukan hanya di fase prospecting atau menggali kebutuhan, tapi bahkan hingga fase negosiasi.
Semoga bermanfaat. 🙂
Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.
(tap the logo)