There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Mon Aug 29, 2022
Resiko investasi waktu & biaya akibat salah rekrut tim di level pemimpin, jauh lebih besar daripada salah rekrut tim di level bawah. Tapi banyak program seleksi terlalu menekankan pada tes-tes psikologi. Artikel kali ini akan membahas tentang 2 faktor terpenting dalam proses seleksi calon pemimpin yang bukan hanya harus dilakukan oleh divisi HR, tapi juga tim terkait.
Sebelum kita mulai, mari kita perjelas tentang satu hal.
Artikel ini tidak akan membagikan seperangkat pertanyaan wawancara atau alat tes psikologi yang seolah-olah bisa 100% memprediksi kecocokan kandidat dengan posisi atau tanggung jawab yang kita tawarkan.
Artikel ini justru ingin mempromosikan konsep bahwa human understanding jauh lebih penting daripada seperangkat pertanyaan template maupun puluhan tes-tes psikologi.
Mohon jangan salah sangka. Saya tidak mengatakan bahwa tes-tes psikologi ini tidak berguna. Tapi terlalu menitikberatkan proses seleksi pada tes psikologi, terutama personality tests, sepertinya bukan merupakan strategi yang bijak. Setidaknya menurut alm. profesor Frank L. Schmidt, seorang profesor psikologi di bidang personnel selection and employment testing.
Satu hal lagi yang perlu saya perjelas.
Apa yang akan kita bahas di artikel ini akan terasa terlalu merepotkan atau kurang efisien jika dilakukan untuk jajaran tim di level bawah. Itu sebabnya fokus artikel ini adalah proses seleksi untuk jajaran pemimpin.
Kenapa bagi saya proses yang lebih merepotkan ini layak untuk ditempuh? Karena resiko investasi waktu & biaya akibat salah rekrut tim di level pemimpin, jauh lebih besar daripada salah rekrut tim di level bawah.
Kalau optimized people setuju dengan hal ini, mari kita bahas 2 faktor terpenting dalam proses seleksi calon pemimpin di tim kita.
FAKTOR 1: PENTINGNYA TUJUAN REKRUTMEN YANG JELAS
Kenapa kita perlu menambah seorang pemimpin di dalam tim kita? Jawaban dari pertanyaan ini seharusnya jadi alasan utama kenapa kita melakukan proses rekrutmen di jajaran leader.
Biasanya kita membutuhkan pemimpin baru karena ada masalah yang ingin dipecahkan atau target yang ingin dicapai. Seharusnya konteks situasi inilah yang jadi dasar utama dari proses seleksi kita.
Segala analisa, tes-tes psikologi, maupun percakapan wawancara dengan para kandidat itu seharusnya ingin melihat apakah sang kandidat kira-kira mempunyai apa yang kita perlukan untuk menolong tim kita menyelesaikan masalah atau mencapai target yang kita ingin capai.
Kejelasan itu datang dari pemimpin terkait
Di sinilah sering kali terjadi titik kritis.
Kejelasan itu seharusnya datang dari pemimpin yang akan menerima pertanggung jawaban kinerja dari pemimpin baru itu. Sang atasan inilah yang bertanggung jawab mendeskripsikan dengan jelas situasi apa yang akan dikerjakan oleh para kandidat itu.
Jika sang atasan hanya bilang: "Pokoknya cari yang punya pengalaman di industri ... sekian tahun, pintar, dan loyal." maka hal ini akan sangat mempengaruhi keakurasian proses seleksi.
Sekali lagi. Sebelum proses rekrutmen dan seleksi dilakukan, sang atasan harus mampu mendeskripsikan konteks situasi yang melatarbelakangi program rekrutmen itu dengan sangat jelas.
Prediksi bagaimana kandidat itu akan bekerja sebagai seorang manusia
Manusia bukanlah mesin yang "spesifikasinya" bisa dituliskan dengan sangat jelas dalam sebuah tabel.
Ketika kita bekerja sama dengan seorang manusia, sebenarnya kita sedang berinteraksi dengan setidaknya 5 pola dari sang kandidat itu, yaitu:
Tapi situasi riil yang sedang kita hadapi sehari-hari sering kali tidak benar-benar bisa disamakan dengan kategori-kategori dari tes itu. Ya kan? Hidup ini jauh lebih kompleks dari teori psikologis apapun.
Jadi pada akhirnya job fit analysis itu seharusnya juga diprediksi menggunakan "insting" dari hasil percakapan yang mendalam. Bukan sekedar laporan tertulis dari tes-tes yang bersifat self-assessment.
Dan hal ini akan membawa kita ke faktor yang kedua.
FAKTOR 2: LIBATKAN PERWAKILAN TIM 360°
Logikanya begini. Sang kandidat itu akan berinteraksi bukan hanya dengan atasannya. Tapi juga tim di bawahnya dan rekan-rekan yang proses atau hasil kerjanya akan saling terkait.
Jadi dalam fase wawancara, sebaiknya kita melibatkan setidaknya perwakilan dari tim 360°. Itu berarti kita perlu meluangkan waktu agar sang kandidat itu diwawancara oleh calon atasan, calon rekan sekerja, dan calon tim di bawahnya.
Hal ini mungkin terasa tidak lazim. Tapi kalau optimized people pikirkan baik-baik, sebetulnya sangat diperlukan.
Saya tidak mengatakan semua pihak akan punya porsi dalam mengambil keputusan. Diterima atau tidaknya sang kandidat itu bisa saja jadi keputusan mutlak sang atasan langsung atau kepala dari divisi HR atau bahkan sang atasan tertinggi.
Tapi informasi 360° ini akan sangat berguna untuk memberikan sang pengambil keputusan final, gambaran yang lebih holistik.
Hal-hal apa yang perlu dibicarakan dalam fase wawancara itu? Saya mengusulkan 3 hal ini.
Tentang insight
Masing-masing kelompok dari tim 360° itu sebaiknya menceritakan masalah yang ingin dipecahkan atau target yang sedang ingin diraih. Hal ini bisa dalam skala perusahaan atau skala divisi.
Seberapa detail informasi yang kita berikan ke kandidat itu, tentu saja bisa diatur. Tapi poin utama yang ingin kita "rasakan" adalah bagaimana sang kandidat itu memahami dan menganalisa situasi yang akan dia hadapi. Apakah kandidat itu mempunyai insight yang baik atau justru "nggak nyambung" sama sekali.
Tentang korelasi pengalaman kerja atau kompetensi
Coba amati apakah sang kandidat mempunyai pengalaman kerja atau kompetensi tertentu yang "kita rasa" berguna untuk konteks yang dia akan hadapi.
Tentang "budaya" dan kebiasaan
Setiap tim dan organisasi mempunyai "budaya" dan kebiasaannya masing-masing. "Peraturan sosial" yang sering kali tidak tertulis ini bisa menentukan keberhasilan sang kandidat dalam bekerja sama dengan tim 360°-nya.
Jadi coba amati apakah kira-kira sang kandidat itu memiliki "budaya" dan kebiasaan yang sesuai? Jika secara natural tidak cocok, coba tanyakan apakah dia pernah menghadapi situasi yang mengharuskan dia mengadaptasikan pola sikapnya.
Poin utama saya adalah ini:
Lakukan job fit analysis sebagai seorang manusia. Bukan sekedar mesin dengan spesifikasi tertentu.
Semoga bermanfaat. 🙂
eri silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.