There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Wed Aug 3, 2022
“Di jaman seperti sekarang ini kenapa harus sampai perang?”
Itu pertanyaan meresahkan yang ingin saya temukan jawabannya. Dan tidak saya sangka, research sederhana ini mengingatkan saya tentang satu prinsip penting dalam topik kepemimpinan.
Di artikel ini kita akan coba melihat beberapa alternatif alasan dibalik keputusan Presiden Putin menyerang Ukraina. Dan semoga kita bisa sama-sama belajar sesuatu dari sana.
Menurut TheWashingtonTime.com Presiden Putin mengatakan bahwa dia ingin merebut kembali Ukraina "dari mereka yang menyandera Ukraina" sambil mengutip Pasal 51 piagam PBB untuk memvalidasi aksi militer itu.
Membaca kalimat itu, saya langsung bertanya-tanya: “Oh ya? Ada ‘dasar hukum’-nya?”
Pencarian sederhana tentang pasal 51 menunjukkan bahwa PBB mengijinkan sebuah negara untuk melakukan “self-defense”, jika merasa dirinya diserang atau menghadapi ancaman. Dasar yang sama ini juga dipakai Amerika untuk perang melawan Afganistan 11 tahun yang lalu.
Pertanyaannya logis berikutnya adalah: “Memangnya sebelum Rusia melakukan ‘invasi’ ini, Ukraina sudah menyerang Rusia terlebih dulu?” Kesimpulan ini terasa aneh mengingat berdasarkan globalfirepower.com Rusia menempati urutan ke-2, sedangkan Ukraina menempati urutan ke-22.
Jadi seandainya aksi militer Rusia ini bukan dalam rangka membalas serangan Ukraina, lalu alasan apalagi yang melatarbelakangi serangan ini? Lebih penting lagi, kenapa Presiden Putin mengatakan ini adalah usaha untuk “merebut kembali Ukraina”?
Alasan Persepsi
Pelajaran sejarah singkat akan mengingatkan kita bahwa Ukraina termasuk salah satu anggota Uni Soviet yang ada dari 1922. Tapi bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet, sejak 24 Agustus 1991 Ukraina menyatakan dirinya sebagai negara merdeka.
Menurut Liam Doyle (Jurnalis Express.co.uk) walaupun Rusia sudah menyatakan kemerdekaannya, tapi Ukraina masih terus ada di bawah “bayang-bayang” Rusia. Jadi mungkin mirip seperti ketika Indonesia masih harus terus memerangi para penjajah, walaupun sudah menyatakan dirinya sebagai negara merdeka, memanfaatkan kekosongan kekuasaan ketika Jepang kalah.
Mungkin ini yang menjadi alasan kenapa Presiden Putin mengatakan bahwa tujuan invasi ini adalah untuk “merebut kembali Ukraina”.
Pertanyaannya sekarang jadi begini: “Apakah rakyat Ukraina memang merasa sedang disandera sehingga tidak bisa bergabung dengan Rusia atau justru ingin dirinya berdiri sendiri sebagai negara Ukraina yang mandiri?”
Ternyata pertanyaan ini sudah diselidiki dan dijawab oleh TheTimes.co.uk.
Dari data yang berhasil mereka kumpulkan, sebagian besar rakyat Ukraina merasa tidak ingin bergabung dengan Rusia. Bahkan yang lebih menarik lagi adalah hanya sekitar 50% dari rakyat Rusia yang disurvei setuju bahwa Rusia berhak mengerahkan kekuatan militernya untuk “merebut kembali Ukraina”. Artinya sekitar 50% sisanya merasa ragu-ragu atau bahkan merasa Rusia tidak berhak memaksa Ukraina menggabungkan diri ke dalam Rusia.
Jadi dari penyelidikan sederhana ini, mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa perang ini sebenarnya bukan didasari karena Rusia merasa perlu membela diri dari serangan Ukraina. Perang ini juga bukan didasari karena Rusia secara keseluruhan merasa perlu menolong Ukraina terbebas dari “penjajah” yang menghalangi mereka bergabung dengan Rusia.
Lalu apa? Di sinilah saya berhipotesa.
Saya berasumsi, perang ini mungkin adalah akibat dari strategi atau ideologi yang dipakai oleh Presiden Putin untuk menyelesaikan konflik perbedaan pendapat.
Ekspresi Ideologi Dalam Menghadapi Konflik
Konflik, baik dalam level negosiasi bisnis maupun dalam level yang jauh lebih serius seperti ini, sering kali menyingkapkan ideologi yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik itu.
Menurut Alexander Yanov, seorang sejarawan dan ahli di bidang Russian nationalism, salah satu ideologi yang paling menggambarkan ideologi Rusia adalah The Triad yang terdiri dari: Orthodoxy, Autocracy, Nationality.
Seandainya Anda memiliki waktu, saya sangat merekomendasikan tulisan beliau yang berjudul “Golden Age of Russian Nationalism.” Tapi secara singkat berikut ini beberapa hal yang menurut saya penting untuk memahami ideologi dibalik kepemimpinan Presiden Putin.
Sederhananya Ortodoksi berarti memelihara apa yang dianggap benar secara tradisi. Autocracy adalah menjunjung tinggi sang pemimpin tertinggi. Dan nationality adalah nasionalisme.
Walaupun Rusia telah mengalami beberapa kali perubahan sistem pemerintahan, mulai dari kekaisaran, komunisme, hingga demokrasi. Tapi menurut Alexander Yanov, jiwa autocracy masih sangat terasa. Di dalam artikelnya beliau menulis: “Nasionalisme kami terdiri dari ketaatan dan komitmen penuh pada pemimpin tertinggi.”
Georgy Manaev, seorang penulis dalam bidang sejarah Rusia mengatakan: “Ideologi Rusia saat ini hampir sepenuhnya didasarkan pada pidato Presiden Putin dan nilai-nilai yang menarik perhatiannya.”
Sekarang bayangkan apa dampak ideologi autocracy, orthodoxy, dan nationalism bagi seorang pemimpin yang merupakan mantan KGB (semacam FBI atau CIA di Amerika) dan didaulat menjadi presiden lebih dari 20 tahun, bahkan hingga tahun 2036, ketika sebagian dari "mantan daerahnya" bukan hanya lebih ingin berdiri sendiri, tapi bahkan setara terang-terangan lebih memilih ideologi yang berbeda dengan ideologi negara yang sudah dibangunnya selama 2 dekade ini?
Saya berasumsi, Presiden Putin lebih terbiasa menggunakan pola otoritarian daripada dialog.
Contoh Pendekatan Ideologi Yang Berbeda
Bangsa Indonesia juga pernah mengalami kasus yang hampir serupa. Jika Rusia merasa Ukraina “seharusnya” adalah bagian dari bangsa Rusia yang membelot ke ideologi barat. Bangsa Indonesia pernah menghadapi ancaman perpecahan dari Aceh. Sebuah wilayah yang bahkan secara sah adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.
Dibutuhkan waktu 6 tahun dan 3 presiden mulai dari presiden Habibie, Presiden Gus Dur, hingga Presiden “SBY” untuk menyelesaikan konflik itu. Namun benang merah dari ketiga presiden kita yang berbeda dengan pola kepemimpinan Presiden Putin adalah musyawarah atau dialog.
Ideologi Kepemimpinan Bangsa Indonesia
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud memberikan nilai bahwa ideologi Presiden Putin lebih baik atau lebih buruk daripada Ideologi presiden-presiden Indonesia. Melalui tulisan ini saya hanya ingin memperlihatkan peran penting ideologi sang pemimpin dalam keputusan kepemimpinannya.
Dan untuk kepemimpinan di Indonesia, saya rasa tanpa kecuali, kita harus kembali ke ideologi Pancasila, yang salah satunya berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Ini berarti setiap pemimpin di Indonesia, baik di jajaran pemerintahan, bisnis, organisasi kemasyarakatan, maupun keluarga, seharusnya lebih banyak menggunakan pola dialog. Dalam mengelola konflik, para public figure di Indonesia seharusnya lebih banyak:
Bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya seharusnya menjadi tempat pelatihan yang sangat baik bagi calon-calon pemimpin yang ingin belajar bagaimana menghadapi konflik menggunakan kecerdasan emosi (EQ) dan rasa kemanusiaan atau respect yang tinggi.
Saya berdoa semoga perang antara Rusia dan Ukraina segera berakhir. Dan saya juga berharap semoga kita, para pemimpin di Indonesia ini, baik di skala pemerintahan, bisnis, organisasi, maupun keluarga diingatkan kembali pentingnya ideologi musyawarah dalam menghadapi konflik.
Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.