There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Mon Aug 1, 2022
Tidak ada yang lebih membuat hati terasa sangat resah dan tertekan daripada merasa tidak punya uang untuk menghidupi keluarga kita. Sebentar. Saya ralat. Tidak ada yang lebih membuat hati terasa sangat resah dan tertekan daripada bekerja sama dengan orang yang memiliki emotional intelligence yang buruk.
(Semua yang pernah merasakan "neraka dunia" katakan: Ho'oh! 😆)
Menghadapi orang yang semaunya sendiri dan "berlidah tajam" itu satu hal. Tapi setiap hari bekerja sama dengan orang yang seperti itu adalah "neraka" di tingkat yang berbeda.
Tapi membicarakan rekan kerja yang memiliki emotional inteligence yang buruk adalah satu hal. Menyadari bahwa kita mempunyai EQ yang rendah adalah hal yang lain lagi.
Beberapa sikap yang bisa jadi indikator EQ rendah
Kendra Cherry seorang psychosocial rehabilitation specialist dan penulis buku Everything Psychology Book (2nd Edition) mengatakan orang-orang yang tidak menyadari dirinya memiliki EQ yang rendah, biasanya:
Jika Kamu ingin melatih dirimu sendiri untuk meningkatkan kecerdasan emosimu, coba biasakan menggunakan beberapa frase ini dalam percakapan sehari-harimu.
"Saya paham"
Membiasakan diri mengatakan "saya paham" setelah kita mendengarkan orang lain berbicara dan sebelum kita memberikan pendapat akan mendorong kita:
"Tadi Kamu bilang ..." (eksplorasi lebih lanjut)
Gunakan frase ini jika ada poin pembicaraan yang tidak Kamu setujui atau ingin Kamu perdalam. Frase ini akan terasa lebih "nyaman di telinga" rekan bicaramu daripada frase: "Apa maksudmu?"
Frase ini juga sebenarnya bisa dipakai ketika kita menghadapi keluhan. Baik dari pelanggan maupun dari rekan kerja.
"Thank you (nama) untuk ... (atau) karena ..."
Poin utama dari frase ini bukan sekedar mengatakan terima kasih atau thank you atau xie xie atau matur suwun. Tapi melatih diri untuk:
"Aku percaya ..." (hal spesifik yang positif dari rekan bicara)
Ketika digunakan sebelum kita memberikan kritik atau saran pengembangan, frase ini akan melatih kita menemukan poin apresiasi, sebelum meluncurkan informasi yang mungkin akan terasa menyakitkan bagi mereka.
Misalnya: "Aku percaya Kamu orang termasuk orang yang bertanggung jawab. Jadi ini yang membuat aku penasaran. Kenapa seminggu ini pekerjaanmu sering terlambat ya?"
Tapi menggunakan frase ini ketika sedang mengapresiasi rekan bicara, akan memberikan makanan emosi yang sangat besar bagi hatinya.
Misalnya: "Terima kasih ya, selama ini Kamu selalu menyelesaikan tanggung jawabmu dengan 'on time'. Aku percaya Kamu selalu bisa aku andalkan."
"Menurutmu gimana?" atau "Ya kan?" atau "Atau aku yang salah ya?"
Secara pribadi saya paling sering menggunakan frase ini, terutama frase versi yang terakhir.
Ketika tim saya sepertinya lupa akan sebuah elemen dalam instruksi yang saya berikan sebelumnya, sebelum saya meluncurkan teguran, saya bertanya: "Bukannya kapan hari aku pernah bilang (begini) ya? Atau aku yang salah ingat?"
Frase ini akan menolong kita menyadari bahwa walaupun sebagai pemimpin (sebetulnya, terutama karena kita adalah pemimpin yang "urusannya banyak"), kita juga manusia yang bisa lupa dan bisa salah mengambil keputusan.
Jadi frase-frase ini akan menolong tim untuk lebih berani mengungkapkan pendapat bahkan mengoreksi kita.
"Kalau pendapatku begini (jelaskan). Gimana menurutmu?"
Senada dengan frase sebelumnya, frase ini akan menolong kita menanamkan budaya teamwork dan bahkan mungkin budaya initiative di dalam perusahaan kita.
Menginginkan tim kerja untuk aktif berpendapat adalah satu hal. Tapi menciptakan budaya yang memberikan kesempatan bagi tim untuk berpendapat adalah hal lain yang menurut saya lebih krusial.
(Kinerja bermasalah) "Ada masalah kah?" atau "Ada kesulitan kah?"
Frase ini sangat efektif digunakan ketika mengontrol proses kerja tim, khususnya ketika kita melihat atau merasa, mereka akan terlambat dari deadline yang sudah disepakati.
Alih-alih bertanya: "Ya ampun, lambat banget ya. Mana bisa selesai kalau begini. Memangnya kenapa kok bisa sampai lambat begini?"
Akan jauh lebih efektif jika kita bertanya: "Oh... baru sampai sini ya? Kenapa? Ada kendala kah?"
Mungkin saja kita sedang menghadapi tim yang lebih sering "mencari-cari alasan". Tidak masalah. Kamu bisa mengoreksi pendapat mereka dengan mengatakan: "Oo... Tapi bukannya kalau (begitu) sebetulnya Kamu bisa (melakukan ini) ya? Ok. Selain karena ini, ada kendala lain kah yang membuat Kamu terlambat?"
Kebiasaan ini akan menolong tim menyadari bahwa mereka tidak bisa "mengarang alasan tidak masuk akal" ketika kita mintai pertanggung jawaban atas kinerja mereka. Tapi minus resiko sakit hati dan "gosip-gosip tidak penting" yang melukai kesatuan dan team engagement di tim kita.
"Sorry" atau "Mohon maaf", "Tolong", dan "Terima kasih"
Ini sering disebut sebagai "3 kata ajaib". Dan walaupun tampak sederhana, orang-orang yang di posisi kepemimpinan sering kali lupa atau dengan sengaja tidak menggunakannya.
Semoga bermanfaat. 🙂🙏
Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engangement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.