There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Sun Nov 6, 2022
Beberapa orang berpikir bahwa ketika menghadapi krisis, yang seharusnya kita lakukan adalah bertahan. Tapi bagaimana seandainya inovasi adalah strategi yang kita perlukan, bukan hanya untuk "survive", tapi juga "thriving"?
Beberapa orang berpikir, momen menciptakan inovasi adalah ketika dalam suasana positif. Mereka berpikir bahwa ketika krisis, fokus kita seharusnya bertahan. Tidak mungkin punya waktu dan energi untuk memikirkan inovasi.
Tapi bagaimana seandainya inovasi adalah strategi yang kita perlukan untuk bukan hanya mencapai titik "surviving", tapi juga dasar untuk ke arah "thriving"?
Di edisi kali ini saya akan membahas sikap kepemimpinan yang berpotensi menjadikan krisis sebagai momentum inovasi. Untuk itu kita akan melihat satu periode di perjalanan perusahaan asal Denmark, yang kita kenal dengan produknya: Lego.
Jebakan kepemimpinan yang membuat Lego dari puncak gunung terjun ke lembah tersuram
Ada hal menarik dari catatan sejarah perusahaan yang kita bisa lihat di lego.com.
Jika kita perhatikan, Lego termasuk perusahaan yang berhasil terus menerus menghasilkan inovasi. Tapi seperti ada tahun yang hilang di daftar itu, yaitu di antara tahun 1999 - 2008. Dan sebetulnya itu adalah periode di mana Lego:
"Umumnya kita hanya bisa melakukan ekspansi 'core business' kita setiap 3 - 5 tahun sekali. Tapi pada waktu itu, Lego melakukan 3 - 5 ekspansi setiap tahun. Saya pikir, itulah yang hampir membuat kami bangkrut."
Dari catatan-catatan yang bisa saya temukan, pada masa-masa itu Lego bukan hanya berbisnis di industri manufaktur mainan anak. Mereka juga mengoperasikan bisnis theme park, clothes, jewellery, retail, dan video games.
Tapi dari sudut pandang human behavior, saya bertanya-tanya. Kenapa para pemimpin Lego terdorong melakukan ekspansi seagresif itu? Apakah dari awal mereka termasuk tipikal orang yang agresif? Saya tidak mempunyai data tentang itu. Tapi secara behavior science ada beberapa hal yang mungkin bisa mendorong kita mengambil keputusan yang sama.
Cognitive bias: Social proof
Di dalam cognitive psychology ada konsep yang disebut dengan social proof cognitive bias. Inti dari konsep ini adalah keputusan kita cenderung sangat dipengaruhi oleh sikap orang-orang di sekitar kita.
Dalam hal ini keputusan para pemimpin Lego mungkin dipengaruhi oleh strategi bisnis pesaingnya, yaitu Mattel, perusahaan mainan terbesar kedua setelah Lego yang ada di balik nama-nama besar seperti Hot Wheels & Barbie.
Kalau melihat data di website perusahaan, kita bisa melihat bahwa Mattel mempunyai diversifikasi produk yang jauh lebih beragam daripada Lego. Mulai dari mainan yang biasa kita lihat digunakan oleh para batita, boneka, UNO, memproduksi serial TV He-Man and The Masters of Universe, Thomas & Friends yang serial kartunnya bisa kita tonton sampai sekarang, dan retail store. Belum lagi industri video game yang mulai populer dan memperebutkan pasar mainan anak-anak di periode tahun yang sama.
Saya berasumsi beberapa teman dekat maupun para konsultan menyarankan ke para pemimpin Lego: "Ini saatnya Kamu memperluas 'core business'-mu!"
Tapi kenapa saran ini bisa terasa begitu menggoda, sehingga membuat para pemimpin Lego memberanikan diri melakukan ekspansi core business secara agresif?
High need for achievement
Professor Thomas J. Delong, seorang profesor management practice di Baker foundation, mengatakan ada individu-individu yang dia memiliki kebutuhan yang tinggi untuk mencapai sesuatu. Beliau mengatakan:
"Alih-alih mendapatkan rasa lega atau puas dari faktor 'happiness & well-being', mereka mendapatkan rasa puas dari keberhasilan mencapai 'achievement' yang satu ke 'achievement' yang berikutnya."
Saya juga tidak punya data apakah para pemimpin Lego memiliki kondisi ini. Tapi kalau kita melihat prestasi Lego yang hampir setiap 3 tahun sekali berhasil menghasilkan pengembangan bisnis, saya pikir wajar kalau sedikit banyak, ada kebutuhan psikologis untuk mempertahankan prestasi itu.
Bagaimana dengan faktor resiko? Apakah para pemimpin Lego tidak kuatir masuk ke beberapa industri baru secara bersamaan?
Saya menemukan penelitian lain yang dilakukan oleh Dr. Robert Langan. Dia adalah head of research dari Geneva Center for Corporate Governance. Dalam penelitiannya beliau menemukan kebanyakan founder dan business owner cenderung lebih optimis mengenai kemampuan mereka menghadapi ketidakpastian di masa depan dibandingkan para spesialis.
Sikap ini kadang-kadang disebut sebagai optimism bias. Inti dari konsep ini adalah kadang-kadang kita cenderung melebih-lebihkan peluang untuk sukses dan meremehkan resiko.
Jadi menurut saya, 3 faktor behavior inilah yang membuat para pemimpin Lego mengambil keputusan bisnis yang membuat lego dari puncak gunung terjun ke lembah tersuram mereka: social proof bias, high need for achievement, dan optimism bias.
Tapi ini kabar baiknya. Kejatuhan ini bukan akhir dari Lego. Di bawah kepemimpinan Vig Knudstorp, Lego mampu melakukan inovasi yang bukan hanya membuat Lego "survive", tapi juga "thriving".
Berikut ini 3 strategi kepemimpinan yang dilakukan oleh Vig Knudstorp.
Innovation: Re-invent the business model
Vig Knudstorp menjadi CEO di tahun 2004. Masa terpelik dalam sejarah perusahaan mereka. Fokus Vig Knudstorp adalah menyehatkan cash flow Lego. Dan untuk itu dia harus menolong Lego menyadari bahwa strategi yang dilakukan selama ini tidak tepat.
Dalam sudut pandang manajemen bisnis, sikap ini selalu terasa keren, logis, dan bahkan mungkin terasa mudah dilakukan. Itu sebabnya "para komentator" akan cenderung berkata: "Seharusnya kan dia paham kalau strateginya salah." Tapi secara psikologis, saya rasa mengakui bahwa kita sudah mengambil keputusan yang salah di masa lalu, bukanlah hal mudah.
Kunci inovasi dari Vig Knudstorp bukanlah menemukan hal baru bagi Lego. Tapi lebih tepatnya, menemukan kembali identitas Lego yang sebenarnya. Dia memimpin Lego untuk mengevaluasi diri menggunakan 3 pertanyaan ini:
Setelah menemukan kembali identitas Lego ini, Vig Knudstorp menambahkan prinsip competitive advantage Lego bukanlah "the biggest" tapi "the best".
Secara praktis, identitas ini menolong Lego memutuskan menjual 75% saham theme park-nya, Legoland, ke Merlin Entertainments. Dana dari penjualan saham ini sangat bermanfaat sebagai solusi jangka pendek untuk masalah cashflow mereka yang mengering.
Selain itu Lego juga mengurangi jumlah produknya dari 13.000 jenis, menjadi hanya 6.500 dan fokus pada pengembangan produk dasar mereka, yaitu the brick.
Innovation: Customer-centric research
Strategi kepemimpinan kedua yang Vig Knudstorp adalah membuka Lego terhadap masukan dari para customer-nya. Mungkin bagi kita, ini adalah hal yang biasa. Tapi di bagi Lego di jaman itu, ini adalah sikap yang tabu.
Salah satu contoh betapa seriusnya mereka melakukan customer-centric research dapat dilihat dari program camping with consumers di mana tim Lego menginvestasikan waktu untuk hadir dan mengamati bagaimana anak-anak dan keluarga bermain.
Salah satu hasil dari penelitian itu adalah mereka menemukan anak-anak perempuan menuntut perlengkapan mainan yang lebih detail dan realistis. Bagi anak-anak laki-laki poin terpenting adalah tokoh pahlawan dan tokoh penjahat, seperti the ninja dan the super-villain. Tapi para anak-anak perempuan menuntut di dalam rumah-rumahan lego mereka harus ada toilet.
Lego juga memfasilitasi berbagai events seperti Brickworld dan Adult Lego Fan Conventions. Lego bahkan meluncurkan program Lego Cuusoo atau Lego Ideas, di mana pemenang kompetisi desain itu akan mendapatkan 1% dari net sales produk yang didesain sesuai dengan desain pemenang kompetisi itu.
Inovasi: Kolaborasi
Ini hal yang unik. Pada akhirnya Lego tetap mampu memperpanjang jaringannya ke industri lain, seperti industri perfilman, video game, retail, dan lain sebagainya. Tapi perbedaannya adalah kali ini mereka bekerja sama dengan orang-orang yang ahli di bidangnya.
Misalnya The Lego Movie, memenangkan 72 penghargaan dari berbagai ajang penghargaan dan masuk ke lebih dari 67 nominasi di berbagai kategori. Ini adalah hasil kolaborasi antara Lego dengan Dan Lin yang pernah bekerja salah satu executive di Warner Bross pictures. Bahkan The Lego Batman Movie mendapatkan nominasi yang jauh lebih banyak daripada Batman vs Superman: Dawn of Justice.
Legoland yang dulu menyedot energi dan dana yang besar, kini telah ada di 10 negara dan terus menerus membukukan pendapatan yang naik dari tahun ke tahun.
Perkembangan-perkembangan yang luar biasa ini bisa ditafsirkan secara berbeda jika kita tidak melihat periode tahun yang hilang di antara tahun 1999 - 2008. Tanpa periode itu, kita mungkin hanya akan melihat Lego sebagai perusahaan yang terus menanjak dan berhasil menghasilkan inovasi demi inovasi.
Tapi jika kita menyertakan apa yang terjadi di tahun 1999 - 2008 itu, kita bisa melihat bahwa dasar dari rentetan inovasi spektakuler itu dimulai justru ketika Lego sedang menghadapi krisis.
Dalam sudut pandang industri saya, yaitu personal & organizational development, saya bisa mengatakan bahwa inovasi terbaik terjadi ketika kita memahami makin dalam:
Semoga bermanfaat. 🙂
Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.