There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Fri Nov 11, 2022
Hai Optimized People đź‘‹
Semenjak pandemi COVID, empathy skill cukup sering disebut sebagai leadership skill yang paling dicari oleh banyak tim dan organisasi.
Bukan sekedar karena stress yang disebabkan oleh pandemi. Tapi survei mengindikasikan para pemimpin yang mampu menggunakan keterampilan berempatinya dengan baik, menghasilkan dampak positif riil ke dunia bisnis.
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh catalyst.org ke 889 pekerja di US menunjukkan bahwa tim yang dipimpin oleh empathetic leaders, cenderung:
Di Weekly Insight hari ini saya menyarankan 3 pola komunikasi sederhana untuk meningkatkan empathy skill Optimized People sebagai seorang pemimpin.
“Aku paham maksudmu”
Ketika menghadapi tim yang berbeda pendapat, reaksi natural beberapa pemimpin adalah langsung mengoreksi. Ini reaksi yang wajar, karena sebagai pemimpin, kita merasa berperan sebagai penentu apa yang benar atau salah.
Tapi kebiasaan ini akan menciptakan win-lose situation. Dan dalam kebanyakan kasus, “bos selalu benar”. Saya rasa Optimized People bisa membayangkan suasana “bos selalu benar” ini sama sekali tidak menolong tim merasa kita bersikap sebagai pemimpin yang berempati. Ya kan?
Untuk meningkatkan empathy skill, cobalah untuk pertama-tama memahami kenapa mereka bisa memiliki pemikiran yang berbeda.
Jika kita mengasumsikan tim kita sebetulnya peduli terhadap tanggung jawabnya, maka niat awal dari idenya bukan didasari oleh rasa malas, tapi justru untuk meningkatkan kualitas kerja. Ya kan?
Membiasakan diri memahami sumber perbedaan pendapat ini bisa menciptakan suasana dan pola komunikasi yang sangat positif dan produktif.
“Aku paham perasaanmu”
Manusia bukan mesin. Otak kita dirancang Tuhan bukan hanya untuk memproduksi emosi, tapi juga mengkomunikasikan emosi.
Ini yang menyebabkan ketika berkomunikasi, kita bisa merasa secara emosi “klik” atau tidak “klik” dengan lawan bicara kita. Dan kalau kita mau jujur, perasaan “klik” secara emosi ini punya peran penting dalam sinergi komunikasi kerja kita. Ya kan?
Jadi ketika kita merasa sedang bersemangat, tapi tim merasa lesu, jangan langsung menjadi “motivator” bagi mereka. Sikap ini seolah mengkomunikasikan: “Perasaan negatifmu itu bukan hanya salah, tapi juga tidak penting! Ayo semangat!”
Membiasakan diri memahami kenapa mereka merasakan apa yang sedang mereka rasakan, akan menciptakan suasana dan pola komunikasi yang lebih produktif dan sinergis.
“How am I make them feel”
Ini pola komunikasi buruk yang paling sering terjadi, dikeluhkan, tapi seolah-olah dimaklumi sebagai pola komunikasi yang tidak perlu diubah.
Beberapa pemimpin sepertinya punya mindset: “Karena dia adalah atasan, maka dia berhak menuntut tim memperhatikan kebutuhan emosinya. Tapi karena dia adalah atasan, jadi dia juga berhak untuk punya 1001 alasan tidak memperhatikan kebutuhan emosi tim.”
Contoh sederhananya:
Seorang anak buah, dalam keadaan apapun tidak boleh menggebrak meja. Tapi seorang atasan, jika sedang merasakan emosi negatif yang tidak tertahankan, minta dimaklumi jika sampai menggebrak meja.
Kalau kita ingin meningkatkan empathy skill, maka kita harus dengan sengaja membuang mindset ini dari dalam hati dan pikiran kita.
Empathy skill dimulai dari konsep: “Pikiran & perasaan orang lain, sama pentingnya dengan pikiran & perasaanku.”
Itu sebabnya membiasakan diri mempertimbangkan cara kita mengekspresikan pesan kepada tim, akan sangat menolong mereka juga belajar mengelola respon emosi mereka lebih bijak.
Semoga bermanfaat 🙂
Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.