There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Thu Dec 1, 2022
Para pelanggan di jaman ini makin menginginkan unit bisnis memberikan layanan yang berkesan. Dan krisis akibat pandemi membuat para konsumen makin terbiasa untuk menuntut layanan yang luar biasa. Tapi dari mana sebaiknya kita mulai? Guideline apa yang bisa kita gunakan untuk memahami apa yang para pelanggan kita inginkan?
Di jaman dulu ada istilah klien adalah raja. Menurut saya konsep ini sebetulnya terbalik.
Sebagai pelaku bisnis, kitalah rajanya. Tapi untuk menjadi seorang raja yang baik dan mendapatkan loyalitas dari rakyatnya, kita harus memahami dan sebisa mungkin memenuhi kebutuhan para customer kita.
Tapi dari mana kita harus mulai? Guideline apa yang bisa kita gunakan untuk menolong kita paham, apa yang para customer kita butuhkan atau inginkan?
Metode survei mungkin bisa jadi salah satu cara kita mendapatkan data ini.
Kalau optimized people ingin meningkatkan layanan dalam topik customer service, hasil survei yang dipublikasikan oleh Hiverhq.com di bulan Maret 2022 ini mungkin bisa jadi insight awal.
Dari 1000 responden di Amerika, mereka menemukan bahwa hanya 20.7% orang yang merasa bisnis tidak perlu mengubah layanannya. Sisanya? Mereka berharap bisnis harus bisa memberikan layanan yang lebih tanggap atau responsif dan lebih peduli atau lebih empati.
Mereka juga menemukan bahwa layanan customer service yang paling disukai oleh generasi baby boomers adalah melalui telepon. Sebaliknya, Generasi Z lebih memilih email. Sedangkan Gen Y atau para millennial ingin para unit bisnis tanggap berkomunikasi, baik melalui email, telepon, maupun chatting.
Studi literatur dari analisa data yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tekonologi, mungkin juga bisa jadi alternatif yang lain. Misalnya di salah satu artikel yang diterbitkan oleh thinkwithgoogle.com mengatakan bahwa makin banyak orang di Asia Tenggara yang masak makanan mereka sendiri.
Menanggapi ini, beberapa restoran menawarkan produk "masak sendiri di rumah" untuk tetap melayani para pelanggan mereka.
Walaupun info-info seperti tadi bisa terasa seru untuk dibicarakan, tapi belum tentu kita bisa menemukan info yang terkait langsung dengan industri kita.
Lebih krusial lagi, belum tentu informasi itu menggambarkan ekspektasi orang-orang di target pasar kita. Ya kan?
Berikut ini, saya menawarkan 1 teknik berpikir yang mungkin bisa optimized people gunakan untuk memikirkan pengembangan layanan bisnis yang selanjutnya.
Di tahun 1967 Dr. Edward de Bono, seorang dokter, psikolog, dan profesor di University of London yang mencetuskan konsep problem solving yang dikenal dengan istilah lateral thinking.
Sederhananya lateral thinking menuntut kita mencari solusi dari berbagai sudut pandang. Termasuk sudut pandang yang awalnya terasa tidak masuk akal atau tidak berhubungan sama sekali.
Contoh paling sederhana tapi berkesan bagi saya mengenai konsep lateral thinking ini bisa dilihat dari bagaimana Gunpei Yokoi menemukan konsep Nintendo.
Dia melihat para penumpang kereta api yang sedang bosan, "memainkan" tombol-tombol kalkulator yang menggunakan LCD monochrome kecil.
"Kenapa tidak menggunakan teknologi kalkulator itu untuk game?" Begitu mungkin ide di pikirannya.
Ide ini terasa menghasilkan minimal 2 keuntungan. Pertama, menggunakan teknologi yang sudah ada, banyak orang tidak merasa kesulitan mengadopsi "teknologi lama" yang terasa baru ini. Kedua, dari segi ekonomi, para biaya produksi menggunakan hardware lama ini jadi lebih murah.
Tapi hal yang terasa luar biasa kreatif dari ide ini adalah dia berhasil menemukan ide mengenai game dari teknologi kalkulator. Itu yang tadi saya katakan mencari solusi dari berbagai sudut pandang. Termasuk sudut pandang yang awalnya terasa tidak masuk akal atau tidak berhubungan sama sekali.
Pola berpikir seperti inilah yang umumnya kita sebut sebagai kemampuan berpikir kreatif. Ya kan?
Jadi kembali ke topik utama kita, bagaimana menggunakan konsep ini untuk menolong kita memahami apa yang para customer kita butuhkan atau inginkan?
Saya ingin menawarkan hipotesis ini:
Secara natural, perasaan kita tidak mengenal tembok pembatas. Jika emosi kita sedang kacau karena cuaca yang panas dan perut yang kelaparan, emosi negatif yang tertimbun di dalam itu bisa saja bocor atau kita tumpahkan ke orang lain yang membuat kesalahan kecil.
Itu sebabnya di dalam psikologi ada teknik yang disebut compartmentalization.
Dalam kondisi sehat, kita menggunakan teknik ini untuk menjaga agar emosi kita tidak bocor ke tempat yang tidak seharusnya. Dalam kondisi yang kurang sehat, kita menggunakan teknik ini untuk memblok semua emosi karena ingin melindungi diri kita dari rasa kecewa yang traumatis di masa lalu.
Jadi secara natural, emosi kita tidak mengenal tembok pembatas. Apa dampak cara kerja perasaan ini ke dunia bisnis?
Sebetulnya para klien kita tidak peduli dengan pengelompokan industri bisnis kita. Sebetulnya emosi mereka tidak peduli apakah kita hotel bintang 5 atau hotel bintang 3. Jika mereka pernah merasakan hotel bintang 5, maka perasaan mereka sebetulnya ingin hotel bintang 3 pun memberikan layanan hotel bintang 5.
Dibutuhkan kesengajaan untuk "berpikir secara rasional" supaya hati kita bisa memaklumi bahwa hotel bintang 3 punya kapasitas yang berbeda dengan hotel bintang 5.
Tapi itu masih bisnis yang ada 1 industri yang sama. Saya berhipotesis, jika tidak "diredam" oleh pikiran rasional, sebetulnya perasaan kita cenderung merasa secara "lateral" atau secara "kreatif".
Jika kita pernah menikmati layanan yang sangat profesional di industri perbankan. Bukankah sebetulnya kita juga ingin merasakan layanan yang sama profesionalnya di pemerintahan?
Jika kita sudah betapa mudahnya mencari detail informasi produk dan berbelanja secara digital menggunakan aplikasi, tanpa harus menunggu dilayani oleh store attendance, bukankah menyenangkan jika retail juga bisa menyediakan layanan serupa?
Itulah yang perasaan para customer kita sebetulnya inginkan. Ide-ide itu tidak akan keluar dari mulut mereka. Kenapa? Karena kita telah dilatih untuk berpikir "rasional". Berpikir dalam kotak-kotak industri.
Itu sebabnya sebagai pelaku bisnis kita perlu meruntuhkan "tembok-tembok" yang menghalangi kita berpikir kreatif untuk memenuhi kebutuhan customer yang tidak terungkapkan itu.
Misalnya jika para customer kita sudah menikmati kemewahan layanan hotel bintang 5. Kenapa "suasana mewah" itu tidak bisa kita ciptakan juga di otomotif kelas premium?
Jika kita sudah terbiasa mendapatkan insight dari materi-materi pendek di YouTube, apa yang kita perlu lakukan agar live seminar atau live training tidak bisa memberikan efisiensi yang sama?
Jika kita bisa memesan tiket bioskop, tiket kereta, tiket penerbangan hanya dengan beberapa sentuhan. Apa yang perlu kita lakukan agar check-in di rumah sakit atau hotel juga bisa terasa sama mudahnya?
Memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini menuntut kita berpikir kreatif. Berpikir secara lateral. Menembus tembok-tembok yang membatasi industri.
Sebagai pemimpin bisnis, dengan banyaknya tanggung jawab yang harus dikerjakan, memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini bisa terasa sangat berat. Mempunyai rekan berpikir yang mampu menolong kita berpikir secara lateral tentu akan sangat menolong.
Walaupun tidak mudah, yakinlah bahwa ketika kita bisa melakukan hal ini, maka customer akan merasa bisnis kita benar-benar memahami keinginan mereka yang terdalam.
Semoga bermanfaat. 🙂
Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.
(tap the logo)