There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Mon Feb 13, 2023
“Bagaimana membuat anak buah taat?”
Ini adalah pertanyaan emas yang ditanyakan setiap pemimpin dan tim HR. Ya kan?
Di dalam bahasa Inggris, pertanyaan ini diberi istilah employee engagement.
Topik employee engagement ini sudah diteliti minimal selama 32 tahun oleh para peneliti yang mengintegrasikan antara ilmu psikologi dan organization behavior.
Beberapa konsep populer yang dihasilkan dari penelitian-penelitian ini misalnya: pentingnya sense of meaning, autonomy, work-life balance, dan lain sebagainya.
Titik kritisnya, hasil penelitian yang dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika & Eropa ini beresiko tidak relevan diaplikasikan di negara berkembang seperti Indonesia.
Misalnya studi literatur sederhana melalui internet akan menunjukkan bahwa memberikan otonomi kepada tim akan meningkatkan employee engagement.
Netflix mengaplikasikan konsep ini ke peraturan perusahaan mereka dengan menyatakan bahwa mereka tidak melacak berapa hari yang karyawan mereka gunakan untuk berlibur dalam setahun.
Dalam salah satu dokumen yang saya temukan, mereka berargumentasi:
“Kami tidak melacak berapa jam mereka bekerja dalam sehari atau seminggu. Jadi kenapa kami harus melacak berapa hari mereka berlibur dalam setahun? Kami fokus pada apa yang tim harus selesaikan. Bukan pada berapa jam atau berapa hari mereka bekerja. Jadi karena kami tidak punya aturan tentang waktu kerja, seperti jam 9 – 5. Maka Kami juga tidak butuh aturan tentang liburan.”
Luar biasa kan?
Tapi apakah strategi seperti ini bisa serta merta kita terapkan di perusahaan kita? Jawabannya tentu saja tidak.
Konsep dasarnya tidak salah. Memberikan sense of autonomy ke tim, akan meningkatkan employee engagement. Tapi karena perbedaan konteks situasi, kita tidak bisa sekedar meniru strategi mereka begitu saja.
Sebagai organization development coach & consultant, saya paham, kita tidak bisa begitu saja mengimpor teori dan contoh-contoh dari perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju itu ke Indonesia.
Jadi apa yang bisa kita lakukan?
Setiap konteks situasi memerlukan strategi yang berbeda-beda. Perbedaan sumber daya dana yang bisa kita alokasikan untuk remunerasi tim juga punya pengaruh yang besar.
Jadi apakah ada strategi untuk meningkatkan employee engagement tanpa harus mengeluarkan biaya besar?
Strategi yang paling sederhana, yang saya rasa bisa dilakukan oleh semua perusahaan adalah memperlakukan tim sebagai manusia. Bukan sekedar pekerja.
Ada 2 cara paling sederhana untuk mulai memperlakukan tim kita sebagai manusia.
Berkomunikasi sebagai sesama manusia dimulai dari memperlakukan mereka sebagai manusia yang punya perasaan.
Mendahului instruksi kerja dengan kata tolong dan berterima kasih setiap kali mereka sudah menyelesaikan tanggung jawab mereka, adalah 2 kebiasaan sangat sederhana yang menunjukkan, kita menghargai mereka sebagai manusia yang punya perasaan.
Menggunakan emoticon atau emoji di WhatsApp teks juga bisa sangat menolong tim salah memahami intonasi dan maksud kita.
Ini bukan sekedar mengenai clarity dalam komunikasi. Ini tentang melindungi perasaan tim dari emosi negatif yang tidak perlu muncul. Sekali lagi ingat. Goal-nya adalah berkomunikasi sebagai sesama manusia.
Kebiasaan sederhana lainnya, misalnya menghargai ide atau inisiatifnya.
Mungkin ide mereka tidak tepat dan inisiatif mereka justru membuat banyak hal jadi berantakan. Tapi kalau kita terus memperlakukan mereka seperti orang yang bodoh dan tidak punya masa depan, maka mereka akan kesulitan berkembang jadi tim kerja yang lebih baik.
Memahami hidup mereka secara utuh dimulai dari memahami pikiran, perasaan, dan apa yang mereka pedulikan di luar pekerjaan.
Mungkin kita kuatir membicarakan tentang hidup pribadi karena perusahaan kita belum bisa menyediakan gaji yang memenuhi kebutuhan finansial mereka. Tapi banyak orang juga memahami bahwa mereka pun sebenarnya tidak punya kompetensi yang cukup untuk punya penghasilan yang lebih besar.
Dalam situasi seperti ini, punya pemimpin yang peduli tentang hal-hal seperti kesehatan kita atau kebahagiaan keluarga kita, bisa mengubah suasana relasi di antara pemimpin dan tim.
Kepedulian seperti ini bisa membuat tim merasa bukan hanya mempunyai pekerjaan. Tapi juga punya pemimpin yang jadi teman seperjalanan dalam hidup ini.
Kita tidak perlu harus mampu membiayai sekolah anak tim kita atau selalu membelikan hadiah ketika ulang tahun pernikahan mereka.
Tapi coba ingat nama keluarga mereka atau menanyakan kabar keluarga mereka atau berdoa bersama mereka. Hal-hal sederhana seperti ini bisa membuat mereka merasa punya pemimpin yang layak untuk dihormati dan diikuti.
Saya tidak mengatakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Amerika & Eropa itu sama sekali tidak berguna.
Menurut saya konsep dasarnya benar. Tapi strateginya tidak bisa kita tiru begitu saja.
Jika konteks kita memungkinkan, mengaplikasikan strategi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju itu, bukan hanya akan membuat perusahaan kita terlihat keren. Tapi juga mempermudah kita dalam hal rekrutmen.
Kabar tentang betapa kerennya manajemen SDM di perusahaan kita akan menarik perhatian kandidat-kandidat terbaik.
Saya hanya ingin menekankan bahwa level yang paling mendasar, employee engagement dimulai dari memperlakukan tim sebagai sesama manusia.
Eri Silvanus
Personal & organization development practitioner: Help people and teams be better by helping them change their behavioral framework.