There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Akibat pandemi COVID-19 para retailers perlu dengan serius memikirkan ulang esensi dari fungsi model bisnis ini. Di artikel ini saya akan membahas peran penting retail dari kaca mata behavioral economics dan apa yang mungkin bisa kita lakukan sebagai retailers.
Sat Jun 4, 2022
Bisnis retail termasuk salah satu industri yang cukup terguncang akibat pandemi COVID-19. Guncangan bukan hanya datang akibat aturan PPKM. Tapi juga perubahan kebiasaan dan perilaku berbelanja para konsumen retail.
Sebelum pandemi, saluran penjualan online memang sudah ada di Indonesia. Tapi sejak pandemi banyak orang jadi "dipaksa" untuk terbiasa berbelanja secara online.
Akibatnya esensi dari bisnis retail terasa makin dipertanyakan.
Saya memberikan penekanan pada frase "makin dipertanyakan" karena menurut saya, situasi ini sekedar menuntut kita untuk memikirkan ulang dengan serius esensi dari bisnis retail. Bukan berasumsi bahwa bisnis retail telah kehilangan fungsinya sama sekali.
Saya hanya mengatakan bahwa para retailers perlu dengan serius memikirkan ulang esensi dari model bisnis retail, jika kita ingin tetap mendapatkan ROI yang baik dari model bisnis ini.
Di artikel ini, saya akan coba membahas peran penting retail dari kacamata perilaku ekonomi (behavioral economics) dan apa yang mungkin bisa kita lakukan.
Dengan segala kemudahan yang bisa kita dapatkan dari berbelanja secara online, kenapa kita masih merasa membutuhkan retail offline?
Bagi saya, minimal ada 2 alasan.
Alasan pertama adalah karena otak kita dirancang Tuhan untuk mencerna informasi, minimal dari 5 indra:
Sampai saat ini, teknologi online baru mampu memberikan 2 jenis data, yaitu: data visual & data audio. Ini berarti offline retail punya peran penting dalam menyediakan jenis data yang lain, seperti: rasa, bau, tekstur, dan kinestetik.
Pikirkan seperti ini.
Mata kita memang bisa melihat model sebuah baju dan dengan teknologi canggih, kita mungkin bisa melihat apakah baju itu cocok dengan bentuk tubuh kita. Tapi yang teknologi belum bisa berikan adalah tentang kenyamanan. Apakah kain yang digunakan cukup nyaman di kulit kita?
Contoh lain misalnya di industri F&B. Dengan konsep pancaindra ini, maka toko roti sebaiknya mampu menghadirkan bau harum roti yang baru keluar dari panggangan.
Tidak ada yang bisa menggantikan kesan yang diterima otak dari komunikasi tatap muka secara langsung. Sampai sekarang belum ada teknologi yang bisa menggantikan apa yang kita rasakan dari suasana ruangan dan bahasa tubuh dari lawan bicara.
Para retailers perlu membedakan peran seorang store sales dan store attendance karena fungsi dari kedua peran ini berbeda.
Artikel ini tidak akan membahas mengenai perbedaan di antara keduanya, karena saya sudah pernah membuat video singkat tentang hal ini.
Bagi saya, peran seorang sales professional adalah mengarahkan proses analisa data & pengambilan keputusan dari calon klien.
Saya akan berikan contoh dari pengalaman saya pribadi.
Suatu saat saya ingin membeli pigura untuk memajang foto & karya lukis anak saya di rumah. Kebetulan saat itu saya mampir ke sebuah toko yang dalam benak saya, saya merasa harga pigura di toko itu pasti akan overprice.
Lalu kenapa saya memutuskan mampir ke toko itu? Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan referensi.
Sayangnya sang sales yang melayani saya pada waktu itu hanya berfungsi sebagai "kamus spesifikasi". Dia hanya mampu menyampaikan data-data yang sebetulnya bisa dituliskan di balik kotak.
Apa yang saya harapkan adalah sang sales bertanya:
Jadi menggunakan 2 konsep tadi, apa yang bisa kita lakukan sebagai para retailers?
Jadikan fungsi utama retail bukan hanya sebagai tempat transaksi, tapi sebagai tempat di mana calon klien akan mendapatkan data-data terlengkap yang dia perlukan untuk mengambil keputusan pembelian.
Diferensiasi fungsi juga mungkin perlu dilakukan. Misalnya toko-toko kecil yang letaknya lebih dekat dengan calon konsumen difungsikan sebagai tempat pengambilan barang, reparasi, dsb. Sedangkan toko besar yang letaknya di tengah kota, lebih difungsikan sebagai main display.
Berusahalah untuk memastikan setiap sales store memiliki kemampuan sebagai seorang konsultan atau rekan diskusi. Bukan sekedar sebuah kamus spesifikasi produk.
Goal-nya bukan sekedar menunjukkan bahwa konsumen juga bisa membeli secara online. Tapi lebih ke arah memahami bahwa awal perjalanan para konsumen, sebetulnya dimulai dari dunia online.
Hindari "mindset kuno" yang meminta calon konsumen datang ke toko dengan "kepala kosong" dan terkejut ketika melihat barang menarik di rak toko kita. Ciptakan rasa tertarik itu sebelum mereka datang ke toko.
Alih-alih hanya menciptakan program membership untuk mendapatkan data konsumen atau merangsang mereka untuk membeli lebih. Bagaimana jika kita membuat program khusus yang mendorong mereka menjadi local influencer bagi kita?
Poin utama dari semua ide ini adalah para retailers sebaiknya memfungsikan toko offline, bukan hanya sekedar tempat untuk menaruh produk dan menciptakan transaksi. Tapi lebih sebagai tempat untuk memberikan data & pengalaman yang dibutuhkan oleh klien kita, mengambil keputusan terbaik dengan membeli produk kita.
eri silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engangement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.