There are no items in your cart
Add More
Add More
Item Details | Price |
---|
Mon Apr 3, 2023
Hari ini kita akan membahas tentang satu topik yang hampir selalu jadi request topik training di berbagai organisasi, tapi ironisnya juga jadi topik yang hanya sedikit orang yang mengakui perlu pertolongan dalam topik ini.
Topik ini adalah komunikasi dalam organisasi.
Kadang-kadang sebagai pemimpin, kita merasa sudah punya komunikasi yang baik dengan tim kita. Kenapa? Karena kita merasa kita selalu terbuka dan selalu mengutarakan apa yang ada di pikiran atau hati kita.
Tapi layaknya relasi pernikahan, sekedar banyak bicara bukan berarti punya pola komunikasi yang efektif. Bisa saja, sebetulnya kita hanya mendominasi.
Sebagai pemimpin kita harus selalu mengingatkan diri kita sendiri bahwa komunikasi dalam organisasi seharusnya merupakan transaksi 2 arah yang memicu terjadinya kolaborasi di antara tim yang berbeda-beda untuk mencapai goal yang sama.
Itu sebabnya pola komunikasi yang buruk di dalam sebuah organisasi beresiko menghambat kesatuan tim, kolaborasi kinerja, dan organization development unit kita.
Di artikel ini kita akan membahas tentang 3 tanda yang bisa jadi indikator, apakah komunikasi di organisasi kita memicu kolaborasi atau sekedar mendominasi salah satu pihak.
Dalam konteks organisasi, meeting atau rapat adalah platform komunikasi paling natural.
Komunikasi di dalam organisasi memang tidak hanya terjadi di dalam meeting. Gossip & curhat sering kali terjadi di dalam informal meeting. Strategi saling melobi dan mencari dukungan sering kali tidak terjadi melalui WhatsApp call atau lunch break.
Tapi hal-hal terpenting mengenai arah dan keputusan yang mempengaruhi kinerja seluruh organisasi itu, biasanya terjadi di dalam meeting.
Jadi seharusnya salah satu indikator termudah untuk meng-assess kualitas komunikasi sebuah organisasi adalah melalui menyurvei para peserta meeting.
Berikut ini beberapa pertanyaan yang bisa kita gunakan:
Kadang-kadang tanpa disadari, pertemuan mingguan itu bisa lebih terasa seperti sesi khotbah atau ceramah daripada sesi pertemuan.
Bukan hanya itu, kadang-kadang topik yang dibahas terasa sangat banyak, tidak terarah, atau tidak terstruktur dengan baik.
Akibatnya, setelah selesai rapat yang tertinggal di pikiran & hati kita adalah perasaan lelah. Bukan arah atau action plan yang jelas.
Pola komunikasi seperti ini, jelas menghambat kolaborasi.
Indikator termudah kedua adalah dengan mengamati dinamika di dalam saluran komunikasi yang digunakan di organisasi kita.
Di jaman serba digital ini, kualitas komunikasi kita akan sangat dipengaruhi oleh seberapa efektif kita menggunakan teknologi.
Misalnya kadang-kadang kita menghabiskan waktu yang terlalu lama, sekedar untuk mencari dokumen atau foto atau info di WhatsApp. Kenapa bisa lama? Alasannya sederhana. Informasi atau data penting itu tertimbun.
Contoh lain lagi. Kadang-kadang kita dan tim kita lupa mengenai keputusan tertentu, karena tidak ada seorang pun yang mencatat keputusan itu. Atau kalaupun ada “bagian sekretaris” yang mencatat, notulen itu lebih berfungsi sebagai prasyarat administratif daripada alat komunikasi vital.
Kenapa contoh-contoh tadi bisa jadi indikator bahwa pola komunikasi di dalam organisasi kita kurang optimal dalam memunculkan kolaborasi?
Ada 2 alasan.
Alasan pertama adalah karena di dunia nyata, kolaborasi tidak muncul di sebuah laboratorium yang steril dari berbagai distraksi.
Di dunia nyata, inovasi yang menuntut kolaborasi dari berbagai tim atau divisi itu sering kali tertimbun oleh daily responsibility yang memang tidak semudah itu untuk dihentikan.
Jadi kalau proses diskusi di dalam organisasi kita tidak lancar atau kita dengan mudah melupakan hal-hal yang sudah kita diskusikan, maka pola komunikasi seperti ini jelas menghambat kolaborasi.
Alasan kedua adalah di dunia nyata, pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi ini belum tentu punya pola pikir yang sinergis. Setidaknya di fase awal.
Secara natural, divisi keuangan punya mindset dan prinsip kerja yang berbeda dengan divisi sales. Divisi marketing punya sudut pandang yang berbeda dengan divisi produksi atau logistik atau pembelian.
Menyinergikan berbagai sudut pandang yang berbeda ke goal yang sama ini sering kali memerlukan proses peleburan yang tidak instan.
Jadi kalau kita cenderung merasa: “Aduh, terakhir kali proses diskusinya sudah sampai mana ya?”, maka kolaborasi akan lebih sulit tercipta.
Kadang-kadang ada pemimpin yang punya mindset: “Semua masalah dan perbedaan pendapat harus bisa diselesaikan dalam waktu 5 menit. Pokoknya yang ‘simple-simple aja’. Kita nggak punya waktu untuk diskusi panjang lebar.”
Mindset seperti ini juga beresiko menghambat kolaborasi. Karena kita tidak memberikan ruang yang cukup untuk proses sinergi.
Indikator ketiga adalah pola komunikasi yang tidak terasa mutually productive.
Kadang-kadang sebagai pemimpin, kita merasa sudah berkali-kali mengkomunikasi apa yang kita mau dengan jelas. Tapi tanpa kita sadari, para tim merasa hanya dijejali instruksi dan kurang didengarkan.
Atau lebih parah lagi, baik jajaran pemimpin maupun tim, sama-sama merasa “nggak klik”. Masing-masing pihak merasa pihak lainnya keras kepala, semaunya sendiri, dan tidak bisa memahami pihaknya.
Kenapa situasi seperti ini bisa terjadi?
Dalam sudut pandang human behavior, komunikasi yang efektif harus mampu memberikan 2 manfaat, yaitu:
Ilustrasinya begini.
Komunikasi fungsional menjelaskan otak logis tim, ke mana mereka harus bergerak dan bagaimana berkolaborasi dengan anggota tim yang lain.
Sedangkan komunikasi emosional memastikan aspek mental atau psikologis tim juga sinergis dengan tujuan dari sang pemimpin.
Beberapa orang mungkin merasa apa yang saya sebutkan barusan hanya teori belaka. Solah semua itu hanya konsep yang indah didengar, tapi nggak ada cara untuk membuatnya jadi realita.
Bagi saya, perasaan ini wajar karena 2 hal:
Dua hal ini membuat beberapa orang menyimpulkan: “Aku sudah coba teori-teori dari seminar itu. Dan hasilnya nihil! Semua itu hanya teori belaka!”
Sebenarnya situasi ini mirip seperti topik relasi suami istri atau topik parenting.
Beberapa content creator dan pembicara mendasari materinya hanya dari buku-buku atau artikel populer. Bukan dari jurnal penelitian ilmiah atau literatur-literatur yang bisa dipertanggung jawabkan secara scientific di bidang itu.
Padahal psikologi, human behavior, neuroscience, behavior economic, dan organization development, ini adalah cabang ilmu yang diuji dengan standar scientific yang sama logisnya dengan cabang ilmu kedokteran.
Jadi sebetulnya memang tidak ada “jurus instan” tentang bagaimana meningkatkan kualitas komunikasi di dalam organisasi ini. Tapi bukan berarti nggak ada framework atau prinsip yang bisa kita jadikan panduan.
Berikut ini beberapa pertanyaan yang bisa kita tanyakan ke seluruh tim (3600) yang berinteraksi dengan kita.
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang sulit, tapi berharga untuk ditanyakan.
Jika pertanyaan-pertanyaan ini ditanyakan melalui survei, tim perlu merasa yakin bahwa identitas tim tidak akan terbongkar.
Jika pertanyaan-pertanyaan ini ditanyakan secara langsung, tim perlu merasa yakin bahwa masa depan dan suasana kerja mereka akan jadi lebih baik, jika mereka memutuskan mau menjawab dengan jujur.
Saya yakin kita semua tahu bahwa komunikasi punya peran vital dalam kinerja organisasi, dan komunikasi yang gagal menghasilkan kolaborasi akan menghambat organization development kita.
Di artikel ini saya memang tidak membahas bagaimana meningkatkan kualitas komunikasi di organisasi kita.
Kenapa? Karena setiap organisasi punya goal, dinamika kerja, dan profil tim yang berbeda-beda.
Tapi saya berharap, contoh pertanyaan-pertanyaan yang saya berikan di artikel ini bisa menolongmu, meng-assess kualitas komunikasi di organisasimu sendiri.
Gunakan data itu sebagai langkah awal untuk membangun pola komunikasi yang lebih sehat atau sewa jasa konsultan profesional untuk menolong organisasimu membangun pola komunikasi yang lebih efektif menciptakan kolaborasi.Eri Silvanus
Personal & organization development practitioner: Help people and teams be better by helping them change their behavioral framework.