"Minoritas" + Tidak Percaya Diri = Sulit Sukses

Sat Jan 28, 2023

Hai Optimized People

Beberapa orang tidak sadar bahwa ada kontradiksi dalam rasa percaya diri di dunia bisnis.

Di satu sisi, otak kita dirancang Tuhan tidak menyukai ketidakpastian (uncertainty). Tapi di sisi lain, hampir tidak ada yang pasti di dunia bisnis.

Ini yang menyebabkan kita tertarik mendengarkan para pemimpin bisnis atau motivator yang berkarisma. Karena mereka bersikap seolah-olah segala hal yang mereka katakan itu pasti akan terjadi.

Dalam hal personal development, dampak rasa percaya diri ini bisa terasa lebih instan:

  • Salesperson yang percaya diri, katanya cenderung lebih mudah memenangkan hati prospek.
  • Professional executive yang percaya diri, katanya cenderung lebih mudah memenangkan hati pihak manajemen.
  • Leader yang percaya diri, katanya cenderung lebih mudah mendapatkan engagement dari timnya.

Jadi seolah-olah rasa percaya diri ini adalah kunci keberhasilan dari para profesional sukses.

Tapi beberapa orang bukan hanya merasa sulit menumbuhkan rasa percaya diri, tapi juga merasa kesuksesannya dihalangi nasib, karena dia adalah “kaum minoritas”.

Di weekday’s insight hari ini kita akan membahas bagaimana mengatasi kombinasi mematikan antara rasa tidak percaya diri & perasaan “hanya kaum minoritas” dalam konteks kerja.

Psychology of Marginalization

Marginalization (pengucilan) adalah proses mengucilkan sesuatu (misalnya sebuah ide) atau seseorang sehingga menciptakan kesan tidak penting.

Contoh sederhananya adalah praktek bullying. Secara psikologis, orang yang melakukan bullying seolah bilang: “Aku berhak berbuat jahat ke Kamu, karena kesejahteraanmu tidak penting!”

Perhatikan bahwa kesejahteraan sang korban itu bukan sekedar tidak penting bagi orang yang mem-bully. Tapi seolah-olah tidak penting bagi siapapun. Perasaan ini akan makin kuat muncul ketika orang-orang di sekitar yang melihat praktek bullying itu, tidak bergerak untuk melindungi sang korban.

Rasialisme juga bisa jadi contoh yang lain. Secara psikologis, orang-orang yang melakukan bullying terhadap rasa tertentu itu menciptakan pesan: “Semua manusia yang termasuk sukumu, tidak penting!”

Menurut KBBI, minoritas berarti golongan sosial yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan golongan lain. Sebenarnya netral. Ya kan? Tapi dalam realita sehari-hari, arti minoritas bisa terasa jauh lebih negatif.

Kalau minoritas sekedar jumlah yang lebih sedikit, emosi kita tidak akan bereaksi secara negatif dengan istilah minoritas. Kenapa hati kita cenderung bereaksi negatif? Karena dalam realita sehari-hari, kata “minoritas” lebih terasa sebagai alasan untuk mem-bully.

Apa hubungannya psychology of marginalization atau konsep bullying ini dengan rasa percaya diri?

Bagaimana Seandainya Kita Mem-bully Diri Kita Sendiri?

Apa yang sudah kita bahas adalah praktek orang lain yang mem-bully diri kita. Orang lain yang bersikap seolah kita tidak penting. Tapi apa yang terjadi kalau kita sendiri yang ternyata menganggap diri kita sendiri tidak penting?

Merasa orang lain berusaha mengucilkan kita memang tidak menyenangkan. Tapi merasa diri layak untuk dikucilkan. Ini jauh lebih mematikan.

Merasa orang lain menganggap pendapat kita tidak penting bisa terasa menyakitkan. Tapi merasa pendapat kita sendiri memang layak untuk dianggap tidak penting. Mindset seperti ini yang akan sangat menghambat optimalisasi potensi kita.

Bagi saya, hal paling mematikan dengan perasaan tidak percaya diri di dunia kerja adalah ini: Kita merasa tidak layak sukses di bidang tertentu, sebenarnya bukan karena nilai yang diberikan oleh orang lain, tapi karena nilai yang kita berikan kepada diri kita sendiri.

Bidang tertentu ini bisa bersifat luas, seperti tidak percaya diri bisa berperan sebagai pemimpin yang baik atau bisa bekerja sebagai sales yang baik. Tapi juga bisa bersifat spesifik, seperti tidak percaya diri berbicara di depan layar, tidak percaya diri berhadapan dengan jajaran C-suite, dan lain sebagainya.

Seandainya optimized people sedang punya tim yang mengalami hal ini, berikut ini alternative mindset yang bisa menolong.

Equality vs Difference

Dalam kondisi tidak percaya diri, equality mindset cenderung membuat kita makin tidak percaya diri. Ilustrasinya seperti seekor ikan yang makin tidak percaya diri karena merasa tidak equal dengan burung yang bisa terbang atau bebek yang bisa berjalan di darat.

Dalam kondisi tidak percaya diri, equality mindset cenderung membuat kita berpikir: “Aku tidak bisa sukses karena aku tidak punya peluang atau bakat atau resoruce yang sama dengan dia.”

Orang-orang yang sadar bahwa kesuksesannya dihalangi oleh rasa percaya diri lebih baik mengadopsi difference mindset.

Difference mindset akan menolong kita berpikir: Aku memang tidak punya peluang yang sama dengan dia. Tapi Tuhan sudah memberikan peluang yang berbeda untukku. Aku tidak harus punya peluang yang sama dengan dia. Aku hanya perlu mengembangkan peluang yang Tuhan sudah berikan ini, maka aku pun bisa sukses.”

Mindset ini selalu menjadi dasar ketika kita melakukan coaching. Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, saya menolong klien fokus pada peluang apa yang mereka punyai dan apa yang bisa mereka segera lakukan sekarang.

Hasilnya? Mereka selalu bisa menemukan peluang dan langkah-langkah yang bisa mereka lakukan untuk berkembang.

Mulai Dari Apa Yang Tuhan Sudah Berikan di Tanganmu

Tanggung jawab kerja sebetulnya adalah sarana terbaik untuk merancang self-development. Kenapa? Karena di dalam tanggung jawab kerja, kita bisa menentukan arah self-development yang jelas.

Sedang bekerja seorang sales dan merasa omset membentur batas? Berhenti menyalahkan pihak lain, dan mulai berinvestasi di self-development sebagai seorang sales.

Sedang dipercaya berperan sebagai seorang pemimpin dan merasa agak kesulitan memimpin anak buah? Mulailah berinvestasi lebih banyak di self-development tentang leadership skill atau managerial skill dan bukan hanya pada video atau buku-buku motivasional.

Lagi pula ketika kita berhasil berkembang, berbeda dengan ketika sekolah, hasil yang kita dapatkan bukan hanya nilai di atas kertas. Tapi peningkatan penghasilan atau karier! Ya kan?

Sayangnya beberapa orang lebih membiasakan diri menggunakan dana, waktu, dan energi untuk hobi & entertainment daripada pada self-development-nya.

Pada akhirnya semua ini kembali pada pilihan kita masing-masing.

Apakah kita akan terus takluk pada rasa tidak percaya diri & merasa diri tidak layak untuk meraih kesuksesan? Atau kita percaya bahwa Tuhan memberikan kita peluang yang berbeda dan self-development journey ini bisa kita segera mulai dari tanggung jawab yang Tuhan sudah berikan di tangan kita saat ini.

The choice is yours. Please ask God to help you choose wisely!

Eri Silvanus
Saya menolong para individu dan organisasi meningkatkan kinerja dan leadership engagement melalui fungsi saya sebagai seorang pembicara, coach, dan consultant.

about eri silvanus

ALSO LISTEN ON

(tap the logo)